Sejarah Banten (diawali
dengan berdiri Kerajaan Salakanagara (Negeri Perak) ibukota Rajatapura yang terletak
di pesisir barat Pandeglang. Raja pertama Dewawarman I (130 – 168 M) yang
bergelar Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan)
Daerah kekuasaannya
meliputi :
• Kerajaan Agrabinta di
Pulau Panaitan
• Kerajaan Agnynusa di
Pulau Krakatau
• Dan daerah ujung selatan
Sumatera
Sejak 165 M, Banten (Pulau
Panaitan) masuk dalam peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus sebagai bagian
dari jalur pelayaran dari Eropa menuju Cina dengan melalui India, Vietnam,
ujung utara dan pesisir barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus
melalui Laut Cina Selatan sampai ke Daratan Cina. Abad V M Prasasti Munjul yang
diperkirakan berasal dari abad ke V masehi ditemukan di Sungai Cidangiang,
Lebak Munjul – Pandeglang. Prasasti berhurufkan palawa dengan bahasa sanksekerta
menyatakan bahwa raja yang berkuasa di kawasan tersebut adalah Raja Purnawarman
dari Kerajaan Tarumanegara. Dalam prasasti tersebut dituliskan juga bahwa
negara pada saat itu berada dalam kemakmuran dan kejayaannya. Abad XII – XV
Banten menjadi pelabuhan dari Kerajaan Pajajaran. Abad XIV Ditemukan prasasti
di Bogor, yang menyatakan Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Sang Ratu Dewata,
yang daerah kekuasaannya meliputi seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor,
sampai Cirebon.
Abad XVI Awal abad ke XVI,
Banten dibawah pemerintahan Prabu Pucuk Umun (Dalam Babad Cibeber disebut juga
sebagai Ratu Ajar Domas). Pusat pemerintahannya terletak di Banten Girang, yang
dihubungkan dengan pelabuhan Banten melalui Sungai Cibanten, dan melalui
Klapadua sebagai jalur darat.
Tanggal 5 Agustus 1511 M,
Bangsa Portugis menguasai Malaka dan disusul dengan takluknya Samudera Pasai
pada tahun 1521 M. Selain untuk kekuasaan dan kekayaan, bangsa Portugis juga
dibebani misi untuk menghancurkan agama Islam. Dengan menguasai Malaka, bangsa
Portugis memonopoli perdagangan rempah rempah di Asia Tenggara, dan
memberlakukan peraturan peraturan yang memberatkan bagi para pedagang terutama
yang beragama Islam. Kondisi ini membuat pedagang pedagang dari Arab, Parsi,
Cina, dan bangsa lain enggan untuk berniaga ke Malaka dan mengalihkannya ke
Aceh, Banten, Cirebon, dan Demak.
Pada 1513 M Tome Pires,
pelaut Portugis, memberitakan bahwa pelabuhan Banten merupakan pelabuhan kedua
terbesar setelah Kalapa. Telah terjadi hubungan perniagaan dengan Sumatera dan
Maladewa, dan pelabuhan Banten merupakan pengekspor beras, bahan makanan dan
lada. Pada masa ini, diberitakan juga sudah banyak dijumpai orang Islam di
daerah Cimanuk, dan kota kota pelabuhan seperti Kalapa dan Banten.
Keadaan ini sangat
menguntungkan bagi Pelabuhan Banten yang berkembang semakin pesat dan lama
kelamaan menjadi pusat penyebaran agama Islam di bagian barat pulau Jawa.
1521 M dengan semakin
berkembang pesatnya kekuatan Islam di barat dan timur, timbul kekhawatiran raja
Pajajaran akan semakin terdesaknya agama Hindu selaku agama resmi kerajaan dan
juga lunturnya kekuasaan di di daerah pantai. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata) melakukan :
a.
Pembatasan pedagang pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan
pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
b.
Menjalin hubungan persahabatan dan kerjasama dengan bangsa Portugis di Malaka,
agar dapat membantu Pajajaran bila diserang Kerajaan Demak, dengan mengutus
putera mahkota Pajajaran Ratu Sangiang atau Surawisesa ke Malaka.
Pada tanggal 21 Agustus
1522 M, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka, menandatangani perjanjian dengan
raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa, pengganti Sri Baduga Maharaja. Perjanjian
tersebut berisi antara lain :
a.
Portugis dapat mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kelapa.
b.
Raja Pajajaran akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai
penukaran barang barang kebutuhan Pajajaran.
c.
Portugis bersedia membantu Pajajaran apabila diserang Demak atau kerajaan
lainnya.
d.
Sebagai tanda persahabatan, Pajajaran akan memberikan hadiah 1000 karung lada
setiap tahunnya kepada Portugis.
1525 M Pasukan gabungan
Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah, Pangeran Cirebon, Dipati Cangkuang,
dan Dipati Keling, serta pasukan lokal di bawah pimpinan Hassanudin dapat
menguasai Banten. Untuk menjaga stabilitas keamanan di Banten, Hassanudin
kemudian diangkat menjadi Adipati Banten dengan pusat pemerintahan di Banten
Girang.
1526 M Atas petunjuk dari
Sunan Gunung Jati, ibukota Banten dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten, yang
kemudian disebut dengan Surosowan. Berdasarkan beberapa data, pemindahan
ibukota ini dilakukan pada tanggal 1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan
tanggal 8 Oktober 1526 M.
1527 M Terdengar kabar,
Portugis dengan armada dan persenjataan lengkap telah meninggalkan Malaka
menuju Sunda Kelapa. Mendengar berita ini, Demak, Banten, dan Cirebon bergerak
untuk menguasai Sunda Kelapa. Sunda Kelapa dapat dikuasai pada tahun 1527 M,
dan Fatahillah diangkat untuk menjadi Adipati Sunda Kelapa. Sebagai tanda
kemenangan, Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta, yang berarti Kota
Kemenangan. Armada Portugis yang datang dari Malaka untuk melaksanakan
perjanjian tahun 1522 M dengan Kerajaan Pajajaran tiba setelah Sunda Kelapa
dikuasai pasukan Islam. Portugis yang dipimpin oleh Francisco de Sa melakukan
perang terbuka di perairan Sunda Kelapa, dan setelah mendapat perlawanan hebat
dari pasukan Islam, Portugis dapat diusir mundur dari Sunda Kelapa.
1552 M Kemajuan
perkembangan Banten yang sangat pesat, menjadikan status Banten ditingkatkan
dari Kadipaten menjadi Kerajaan. Hassanudin ditunjuk sebagai raja pertama. Dan
pada tahun yang sama pula, Fatahillah (menantu dari Sunan Gunung Jati) diangkat
menjadi raja di Cirebon, mewakili Sunan Gunung Jati, dikarenakan mangkatnya
raja Cirebon, Pangeran Pasarean (putera Sunan Gunung Jati) di tahun tersebut.
Untuk menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran Bagus
Angke, menantu Sultan Hassanudin.
1552-1570 M Sejarah Banten Masa
Pemerintahan Sultan Maulana Hassanudin.
Sultan Maulana Hassanudin
memerintah sebagai raja pertama Kesultanan Banten dari tahun 1552 M hingga
wafatnya di tahun 1570 M. Pada masa pemerintahannya, digambarkan kota Banten
telah berkembang sangat pesat. Jumlah penduduk diperkirakan telah mencapai
70.000 jiwa. Terletak di pertengahan pesisir teluk Banten, Kota yang dikenal
dengan nama Surosowan ini memiliki panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten
dilewati sungai jernih yang dapat dilalui oleh kapal jung dan gale.
Kota Banten dikelilingi
benteng bata setebal tujuh telapak tangan. Bangunan bangunan pertahanan dua
lantai terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan meriam. Di tengah kota terdapat
alun alun yang digunakan untuk kegiatan ketentaraan, kesenian rakyat dan juga
sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di sisi selatan alun alun,
disampingnya dibangun bangunan datar yang ditinggikan dan diatapi yang disebut
srimanganti, sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyat. Di sebelah barat
alun alun dibangunlah Masjid Agung Banten. Pada masa pemerintahannya, Banten
telah menjadi pelabuhan utama di Nusantara, sebagai persinggahan utama dan
penghubung pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dengan kerajaan kerajaan
di Nusantara.
1570-1580 Sejarah Banten Masa Pemerintahan M Sultan Maulana
Yusuf
Pada masa kepemerintahan
Sultan Maulana Yusuf, strategi pembangunan dititik beratkan pada pengembangan
kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Pada saat itu, perdagangan
sudah sangat maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang barang
dari seluruh dunia yang nantinya akan disebarkan ke seluruh nusantara. Dengan
majunya perdagangan maritim di Banten, maka kota Surosowan dikembangkan menjadi
kota pelabuhan terbesar di Jawa. Ramainya kota baru ini dengan penduduk pribumi
maupun pendatang membuat diberlakukannya aturan penataan dan penempatan
penduduk berdasarkan keahlian dan asal daerah penduduk. Perkampungan untuk
orang asing biasanya ditempatkan di luar tembok kota, seperti Pekojan yang
diperuntukan bagi pedagang muslim dari kawasan Arab ditempatkan di sebelah barat
pasar Karangantu, Pecinan yang diperuntukan bagi pendatang dari Cina
ditempatkan di sebelah barat Masjid Agung, di luar batas kota. Penataan
pengelompokan pemukiman ini selain bertujuan untuk kerapian dan keserasian kota
juga untuk kepentingan keamananan, dan merupakan upaya penyebaran dan perluasan
kota. Selain penataan pemukiman, juga dilakukan perkuatan dan penebalan tembok
keliling kota dan tembok benteng sekeliling istana. Tembok benteng diperkuat
dengan lapisan luar yang terbuat dari bata dan batu karang dengan parit parit
disekelilingnya. Perbaikan Masjid Agung juga dilakukan dan penambahan bangunan menara dengan bantuan Cek
Ban Cut, arsitek muslim asal Mongolia.
Sultan Maulana Yusuf wafat
pada tahun 1580 M dan dimakamkan di Pakalangan Gede dekat kampung Kasunyatan
sekarang, dan karenanya beroleh gelar Pangeran Panembahan Pakalangan Gede atau
Pangeran Pasarean. Sebagai pengganti, diangkatlah putranya, Pangeran Muhammad
yang pada waktu itu baru berusia 9 tahun.
1580-1596 M Sejarah Banten Masa Pemerintahan Sultan Maulana
Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan
Keadaan Banten pada masa
Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan kesaksian Willem Lodewycksz
yang mengikuti Cornelis de Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten tahun
1596. Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok
yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah.
Diperkirakan besarnya sebesar kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat
melayari seluruh kota Banten melalui banyak sungai. Setiap kapal asing yang hendak
berlabuh di Bandar Banten diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan membayar
bea masuk. Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang
dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal.
Maulana Muhammad terkenal
sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam, beliau
banyak mengarang kitab agama Islam dan membangun masjid hingga ke pelosok
negeri. Sultan juga menjadi khatib dan imam untuk setiap shalat Jum’at dan Hari
Raya. Pada masa kepemimpinannya, Masjid Agung diperindah dengan melapisi
dinding dengan keramik dan kolomnya dengan kayu cendana, untuk tempat shalat
perempuan disediakan tempat khusus yang disebut pawastren atau pawadonan.
1596-1651 M Sejarah Banten Masa Pemerintahan Sultan Abul
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
Sultan Abul Mafakhir yang
baru berusia lima bulan, untuk menjalankan roda pemerintahan maka ditunjuklah
Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya
dalam pemerintahan sebagai walinya. Masa awal pemerintahan Sultan yang masih
balita ini merupakan masa masa pahit dalam sejarah Kesultanan Banten karena
banyaknya perpecahan dalam keluarga kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang
berbeda serta keinginan untuk merebut tahta kerajaan. Pada saat Mangkubumi
Jayanegara wafat di tahun 1602 M, perwalian dikembalikan ke ibunda sultan, Nyai
Gede Wanagiri. Nyai Gede Wanagiri yang telah menikah kembali, mendesak agar
suami barunya ditunjuk sebagai Mangkubumi. Mangkubumi yang baru ini, dalam
kenyataannya banyak menerima suap dari pedagang asing, sehingga tidak memiliki
wibawa dan keputusannya lebih banyak
tidak ditaati. Kekacauan di dalam negeri semakin membesar dan tidak dapat
ditangani karena Mangkubumi lebih sibuk mengurus keributan yang ditimbulkan
oleh pedagang Belanda dengan pedagang Inggris, Portugis, maupun pedagang dalam
negeri.
Puncak dari kekacauan itu
adalah dibunuhnya Mangkubumi, yang memicu terjadinya perang saudara yang
dikenal dengan nama Perang Pailir, yang terjadi di tahun 1608 – 1609 M. Perang
untuk memperebutkan tahta yang dilancarkan oleh Pangeran Kulon, saudara sultan
lain ibu ini, dapat dihentikan atas usaha Pangeran Jayakarta hingga dibuat
perjanjian perdamaian antara semua pihak
0 Comments