Wednesday, May 27, 2020

LANDASAN TEORETIK TENTANG PERAN TEKNOLOGI DAN MEDIA PADA ABAD 21

  teori diterminisme teknologi, diterminisme sosial, dan teori mediatisasi

Landasan teoretik tentang peran teknologi dan media pada abad 21. Ada tiga penjelasan teoretik tentang peran teknologi dan media pada abad 21, yaitu teori diterminisme teknologi, diterminisme sosial, dan teori mediatisasi.

Pertama, menurut asumsi diterminisme teknoloigi Pendekatan determinisme teknologi memposisikan teknologi sebagai faktor dominan dan berpengaruh dalam mengubah perilaku komunikasi warga masyarakat. Hadirnya pembelajaran hibrida yang sebagian memanfaatkan e-learning sebagai pola pembelajaran online dianggap sebagai penentu bagaimanakah perilaku belajar peserta didik. Hal ini akan mengakibatkan ’pemaksaan’ pada peserta didik, sehingga mereka harus mengikuti pola yang telah ditetapkan oleh teknologi yang digunakan dalam proses belajarnya. Model web-based learning yang dikendalikan oleh platform yang dipilih oleh sebuah mata kuliah, termasuk dalam pendekatan deterministik teknologi ini. Dalam abad 21 ini, argumen diterminisme teknologi dan efek media ini sesuai dengan asumsi cyber optimis. Fakta menunjukkan bahwa sekarang ini antusiasme belajar berbasis TIK cukup tinggi. Antusiasme guru, murid, dan satuan pendidikan yang begitu tinggi terhadap kehadiran pendidikan era digital ini mengindikasikan adanya kesesuaian dengan asumsi kubu cyber optimis. Situasi optimistic ini juga ditunjukkan oleh pemerintah yang sangat yakin bahwa dengan digitalisasi pendidikan akan mampu menciptkan generasi era 21 yang sering disebut sebagai generasi emas. Oleh karena itu pemerintah sangat yakin bahwa dengan teknologi akan membawa berkah bagi pengembangan sumber daya manusia Indonesia melalui proses pembelajaran dan pendidikan pada umumnya.

Kedua, mengikuti pandangan diterminisme sosial, yang memandang bahwa kehendak dan keputusan masyarakat atau individulah yang menentukan efek-efek yang timbul dari kehadiran TIK. Pada dasarnya TIK merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, yaitu sebuah hasil konstruksi rekayasa masyarakat, bukan sebuah fenomena yang terpisah dari konteks sosial. Determinisme sosial merupakan proses yang mutual yang menempatkan perkembangan TIK dan praktek sosial saling menentukan kehidupan sosial itu sendiri (Lievrouw, 2006). Jadi bukan TIK yang menentukan pola interaksi masyarakat, tetapi kebutuhan komunikasi masyarakatlah yang menghadirkan teknologi tersebut sebagai sarana komunikasi mereka. Kebutuhan belajar yang tidak dapat dipenuhi oleh pembelajaran tradisional berbasis tatap mukalah yang menentukan kehadiran pembelajaran online, sebagai salah satu metode pembelajaran hibrida. Arnold Pacey berpendapat bahwa kita akan lebih dapat memahami dalam melihat hadirnya teknologi dengan menyatukan antara pandangan bahwa teknologi itu bebas nilai (value free) dan teknologi itu juga berkaitan dengan nilai-nilai kultural. Teknologi sebaiknya dilihat sebagai aktivitas manusia dan sebagai bagian dari kehidupan manusia. Tidak hanya melihatnya sebagai mesin, teknik, dan pengetahuan saja tetapi juga perlu pelibatan karakteristik pola-pola organisasi dan nilai-nilai yang diyakininya (Pacey, 2000:4). Oleh karena itu, e-learning tidak hanya dilihat dari perspektif determinisme teknologi, tetapi juga dilihat dari sudut pandang determinisme sosial. Ini juga menganjurkan bahwa  melihat teknologi tidak hanya dari definisinya saja, tetapi juga prakteknya. Teknologi dapat dibedakan antara ”teknologi” sebagai artefak yang memungkinkan manusia mengontrol lingkungan dan ”technology-practice” sebagai artefak yang melekat di dalam organisasi dan gagasan-gagasannya. Sifat negatif teknologi dapat hadir bukan karena kesalahan artefaknya, tetapi karena kesalahan dalam technology-practice-nya. Teknologi ketika dilihat sebagai artefak, maka teknologi adalah netral.

Ketiga, pandangan teori mediatisasi yaitu sebagai proses dinamis dalam hubungan antara keberadaan media di tengah masyarakat yang bersifat insitusional. Di sini media yang mulanya merupakan hasil temuan ilmu pengetahuan dan teknologi kemudian berkembang menjadi institusi sosial, yang kemudian juga terlibat dalam pergulatan hubungan dengan institusi sosial lainnya. Karena itu Hjarvard memahami mediatisasi dengan ciri utama: pertama, media telah berkembang menjadi institusi otonom dan indipenden terhadap masyarakat. Kedua, pada saat yang sama ketika media tampil sebagai institusi indipenden, media kemudian menjadi lebih terintegrasi dengan institusi sosial lainnya. Media massa, media interaktif, dan kombinasi keduanya telah menjadi sesuatu yang lumrah, yakni sebagai komponen niscaya bagi kehidupan sehari-hari seperti pendidikan, politik, kehidupan keluarga dan agama.

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.


EmoticonEmoticon