![]() |
Manfaat Keanekaragaman Hayati Pesisir dan Laut |
Manfaat Keanekaragaman Hayati Pesisir dan Laut. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut adalah seluruh keanekaan bentuk kehidupan di pesisir dan laut, beserta interaksi di antara bentuk kehidupan tersebut dan antara bentuk kehidupan tersebut dengan lingkungannya. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut merujuk pada keberagaman bentuk-bentuk kehidupan di pesisir dan laut: tanaman yang berbeda-beda, hewan dan mikroorganisme, gen-gen yang terkandung di dalamnya, dan ekosistem yang mereka bentuk. Kekayaan hidup ini adalah hasil dari sejarah ratusan juta tahun berevolusi yang jika hilang akan susah untuk pulih bahkan bisa hilang untuk selamanya.
Manfaat keanekaragaman
hayati mencangkup antara lain: jasa lingkungan, nilai ekonomi dan kegunaan yang
diberikan oleh keanekaragaman hayati pesisir dan laut telah menopang lebih dari
60 persen penduduk Indonesia yang bermukim di wilayah pesisir baik secara
langsung maupun tidak langsung. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut telah
menjadi sumber penghidupan dan pekerjaan bagi jutaan penduduk Indonesia. Banyak
studi yang telah dilakukan yang mengkonfirmasi hal ini. Beberapa hasil kajian
yang memperkirakan manfaat keanekaragaman dan ekosistem pesisir dan laut adalah
sebagai berikut:
·
Nilai kegunaan dan non kegunaan hutan
mangrove di Indonesia US$ 2,3 miliar per tahun (GEF/UNDP/IMO 1999)
·
Nilai ekonomi terumbu karang Indonesia
diperkirakan sekitar US$ 567 juta (GEF/UNDP/IMO 1999)
·
Nilai padang lamun sebesar US$
3.858,91/ha/tahun (Bapedal dan PKSPL-IPB 1999)
·
Nilai ekologi dan ekonomi sumberdaya rumput
laut di Indonesia sekitar US$ 16 juta (GEF/UNDP/IMO 1999)
·
Nilai manfaat ekonomi potensi sumberdaya
ikan laut di Indonesia sebesar US$ 15,1 miliar (Dahuri 2002)
Keanekaragaman hayati dan
ekosistem pesisir dan laut di samping memberikan manfaaat dari sumberdaya dan
jasa lingkungannya terhadap penghidupan masyarakat pesisir, juga berperan
penting dalam menjaga keseimbangan iklim serta penyerapan karbon yang merupakan
kontributor perubahan iklim. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut beserta
ekosistemnya berperan dalam menjaga keseimbangan penyerapan karbon. Kemampuan
penyeimbang ini mulai terganggu dengan semakin banyaknya gas rumah kaca (GRK)
hasil kegiatan manusia (anthropogenic) yang pada akhirnya diserap oleh laut dan
ekosistemnya. Tanpa ada upaya pengurangan emisi GRK, dipastikan dalam beberapa
dekade mendatang ekosistem pesisir dan laut berkurang secara signifikan. Hal
ini berarti akan memberikan dampak ikutan terhadap masyarakat pesisir serta
biota dan ekosistem laut dan pesisir lainnya.
Berpijak pada kemampuan
ekosistem laut dan pesisir menjaga keseimbangan penyerapan karbon serta potensi
pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), Program Lingkungan Perserikatan
Bangsa-bangsa (UNEP) bekerjasama dengan Badan Pangan Dunia (FAO) dan Badan
Pendidikan dan Pengetahuan (UNESCO) memperkenalkan konsep Karbon Biru (Blue
Carbon) dalam Laporan Blue Carbon – The Role of Healthy Oceans in Binding
Carbon. Laporan ini telah diluncurkan pada 14 Oktober 2009
pada Diversitas Conference, Cape Town Conference Centre, South Africa.
Laporan ini menggambarkan alur emisi karbon dan estimasi kemampuan ekosistem
laut dan pesisir dalam menyerap karbon dan gas rumah kaca. Hal ini juga sejalan
dengan amanat Manado Ocean Declaration (MOD) yang dideklarasikan tahun 2009
serta sebagai upaya mengendalikan dampak perubahan iklim.
Karbon Biru (Blue Carbon)
adalah sebuah konsep yang membuktikan peran keanekaragaman hayati pesisir dan
laut beserta ekosistemnya yang didominasi oleh vegetasi laut seperti hutan
mangrove, padang lamun, rawa payau serta rawa masin (salt marshes) dalam
mendeposisi karbon. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut beserta ekosistemnya
diyakini mampu menjadi garda penyeimbang bersama hutan (Green Carbon) untuk
mengurangi laju emisi melalui penyerapan karbon.
Kajian awal yang
dilakukan para peneliti di Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan mengidentifikasikan potensi laut Indonesia yang memiliki
kemampuan menyerap karbon sebesar 0.3 giga ton karbon per tahun. Riset ini
dilakukan dengan memanfaatkan data satelit kandungan fitoplankton (klorofil dan
suhu air laut) di laut Indonesia untuk mengestimasi kandungan karbon yang
terserap. Riset ini tentunya masih harus diverifikasi melalui kajian
lapangan (in-situ) serta memperhitungkan komponen lainnya seperti
interaksi atmosfir dan laut (solubility pump). Langkah ini hendaknya
menjadi pemicu dan pemacu untuk melakukan riset lanjutan tentang peran penting
laut sebagai pengendali perubahan iklim. Satu hal yang harus diacu adalah
Indonesia dengan kenanekaragaman hayati dan luasan ekosistem pesisir dan laut
yang begitu besar, berpotensi memberikan kontribusi dalam menjaga dinamisator
laut dalam perubahan iklim. Menjaga kelestarian keanekaragaman hayati pesisir
dan laut beserta ekosistemnya berarti menjaga kelestarian dan kemampuan ekosistem
laut dan pesisir sebagai dinamisator iklim global.
0 Comments